My Page Views

Wednesday, September 14, 2011

SELAMATKAN PERNIKAHAN SEBELUM DIMULAI


Alkitab tidak mengenal prinsip jodoh atau “saoulmate”, dimana Tuhan menciptakan satu orang secara khusus hanya untuk satu orang. Kitalah yang akan memilih siapa yang menjadi pasangan hidup kita, tentu saja harus sesuai dengan prinsip yang diajarkan Alkitab. Firman Tuhan mengajarkan prinsip, menikah sekali untuk selamanya dan memiliki hanya satu pasangan hidup saja alias monogami. Adam hanya memperistri Hawa sampai ajal menjemput mereka. Alkitab tidak mengajarkan kita untuk menemukan seseorang yang telah Tuhan tetapkan bagi kita, namun memberitahu bagaimana kita harus memilih pasanagan hidup yang sepadan.

MOTIVASI SALAH, MENDAPATKAN PASANGAN HIDUP YANG SALAH
Angka perceraian di Surabaya pada awal 2011 mengalami peningkatan. Januari-Februari 2011 jumlah angka perceraian sebanyak 883 kasus, lebih banyak dibanding tahun 2010 yang tercatat 823 perkara. Data statistik ini menunjukan semakin banyak orang yang tidak mau berjuang lebih keras untuk mempertahankan pernikahan mereka, yang akhirnya berujung pada perceraian. Sayangnya, perceraian yang dulu dilakoni oleh mereka yang tidak percaya pada firman Tuhan, kini merambat ke kalangan orang Kristen.
            Mengapa hal ini bisa terjadi? Mengapa begitu banyak pernikahan yang gagal dan berujung pada perpisahan? Mark Gungor berpendapat bahwa masalah tersebut berasal dari harapan yang dimiliki pasangan suami-istri, yaitu mengenai gambaran ideal sebuah pernikahan menurut versi mereka masing-masing yang tidak dikomunikasikan secara verbal.
            Tingkat percaraian yang tinggi sampai kepada orang Kristen juga kelihatannya disebabkan karena terlalu banyak pemuda/i Kristen yang membuat kesalahan dalam memilih pasangan dengan siapa dia akan menghabiskan sisa hidupnya; dengan siapa dia akan membangun sebuah keluarga yang harmonis, yang tetap bertahan dalam suka maupun duka. Untuk menghindari kesalahan yang fatal, perhatikanlah alasan-alasan salah yang membuat seseorang salah memilih dan menikah dengan pasangan hidup yang salah.

1. Kita memilih orang yang salah jika berharap dapat mengubahnya menjadi pribasi yang kita inginkan setelah menikah.
Akan sangat baik jika kita menikah dengan orang yang dapat kita menerima apa adanya. Pada masa pacaran kenalilah karakter, pola pikir, keterampilan si dia dalam berkomunikasi, cara dia berinteraksi, apakah dia pekerja keras atau pemalas, apakah dia orang yang bertekad kuat atau mudah menyerah, apakah kepribadiannya terbuka (ekstrovert) atau tertutup (introvert), hobinya apa, fisiknya lemah atau kuat, dll. Setelah mengetahui hal-hal diatas barulah kita dapat memasuki tahap yang lebih serius, tahap untuk memutuskan bersedia atau tidak menerima semuanya dengan hati yang terbuka.
Jika ada hal-hal “buruk” dalam diri calon pasangan kita, yang kita anggap tidak bisa kita terima karena itu sangat prinsip, sebaiknya kita berpikir ulang untuk meneruskan hubungan itu ke arah yang lebih serius. Misalnya, kita berpacaran dengan orang yang hanya Kristen KTP, sementara kita sangat aktif pelayanan, sebaiknya hal ini dipikirkan ulang. Jangan berpikir bahwa setelah menikah kita bisa mengubah dia menjadi orang yang rohani, yang bersedia masuk ke dalam komunitas orang yang melayani. Pola pikir ini bisa menjadi jebakan bagi kita, bahkan kelak bisa membuat kita menjauh dari Tuhan. “Janganlah kami merupakan pasangan yang tidak seimbang dengan orang-orang yang tak percaya. Sebab persamaan apakah terdapat kebenaran dan kedurhakaan? Atau bagaimanakah terang dapat bersatu dengan gelap? “ (2 Korintus 6 : 14)
      Contoh lainnya adalah kita sudah tahu bahwa pacar kita seorang pemalas tetapi karena ingin melepas status lajang, kita nekat menikah dengannya. Keputusan ini akan menjadi perangkap yang kita pasang untuk menjerat kita sendiri masuk ke dalam kesusahan yang berkepanjangan, yang tidak seharusnya kita jalani.

2. Kita memilih orang yang salah jika lebih fokus pada penampilan fisik, perasaan dan “chemistry” daripada karakter.
Penampilan fisik yang baik berpotensi besar membuat perasaan kita tertarik terhadap seseorang, bahkan menimbulkan “chemistry” yang kuat dan itu natural! Biasanya kalau sudah demikian, perasaan akan berperan lebih dominan daripada logika. Seharusnya kita lebih mementingkan karakter daripada penampilan lahiriah. Di dalam mebangun sebuah pernikahan yang kuat, kematangan karakter jauh lebih penting daripada penampilan fisik dan “chemistry”, walaupun kedua hal ini tidak bisa diabaikan.
Keempat sifat ini bisa menunjukan kematangan karakter seseorang.
-          Kerendahan hati.
Apakah si dia memiliki kerendahan hati? Kerendahan hati akan nyata tatkala kita masuk dalam sebuah konflik, diamana kedua belah pihak bisa keluar dari situasi itu jika ada yang mengalah. Tidak peduli siapa yang salah atau benar, tetapi respon yang ditunjukan akan memperlihatkan kerendahan hati calon pasangan hidup kita.
Mengapa kita butuh pasangan yang rendah hati? Karena pernikahan sarat dengan masalah dan perbedaan, yang berpotensi menimbulkan konflik. Konflik antar pasangan harus diselesaikan sedapat-dapatnya sebelum mengakhiri hari dan ini membutuhkan kerendahan hati. Kalau tidak diselsaikan secara tuntas konflik itu akan terakumulasi dan bisa menjadi bom waktu yang berujung pada perceraian. “Jikalau keangkuhan tiba, tiba juga cemooh, tetapi hikmat ada pada orang yang rendah hati.” (Amsal 11 : 2)
-          Baik hati.
Perhatikan apakah dia orang yang suka memberikan “kesenangan” kepada orang lain? Orang suka membahagiakan orang lain akan membahagiakan pasangannya, sebaliknya orang sukacita bersukacita tatkala mebuat orang lain tertekan dan menderita akan membuat hidup pasangannya demikian. Kebaikan hati calon pasangan hidup kita bisa ketahui dari teman-teman atau orang yang kerap berinteraksi dengannya. “Orang yang baik hati akan diberkati, karena ia membagi rezekinya dengan si miskin.” (Amsal 22 : 9)
-          Tanggung jawab.
Karakter ini sangat penting, karena orang yang bertanggung jawablah yang dapat bertahan di dalam keadaan yang sangat sukar sekalipun. Seorang pria akan bertanggung jawab menafkahi dan melindungi keluarga, wanita akan bertanggung jawab mengatur semua keperluan keluarganya. “Ia bangun kalau masih malam lalu menyediakan makanan untuk seisi rumahnya, dan membagi-bagikan tugas kepada pelayan-pelayannya perempuan.” (Amsal 18 : 14)
-          Sukacita.
Perhatikan apakah calon pasangan hidup kita orang yang pemurung, suka bersungut-sungut atau orang yang bersukacita. Orang yang memperlihatkan sukacita menunjukan bahwa emosinya lebih stabil, karena orang yang bersukacita dapat menanggung beban. “Orang yang bersemangat dapat menaggung beban penderitaannya, tetapi siapa yang akan memulihkan semangat yang patah?” (Amsal 18 : 14)

3. Kita memilih orang yang salah jika mengutamakan keterlibatan fisik.
Keterlibatan fisik memang secara langsung memang diperlukan, tetapi itu nanti setelah diberkati di hadapan Tuhan dan umatNya. Pria atau wanita yang benar-benar menyayangi pasangannya tentu akan menjaga kehormatan pasangannya. Karena itu tidak perlu ada alasan “test drive” untuk mengetahui apakah calon pasangannya “compatible” atau cocok secara fisik.
Dari semua studi yang dilakukan pada perceraian, ketidakcocokan dalam arena intim ini sangat kecil, bahkan hampir tidak pernah dikutip sebagai alasan utama mengapa orang bercerai. Jadi pastikan bahwa kita akan menikah dengan orang yang menghargai dan menjaga kehormatan sampai kita diberkati didepan altar, yang tidak menuntut keterlibatan fisik sebelum tiba waktunya. “Kusumpahi kamu, putrid-putri Yerusalem, demi kijang-kijang atau demi rusa-rusa betina di padang; jangan kamu membangkitkan dan menggerakan cinta sebelum diinginkannya!” (Kidung Agung 3 : 5)

4.   Kita memilih orang yang salah jika tidak memiliki hubungan emosional yang mendalam dengan calon pasangan hidup.
Kita memilih orang yang salah menjadi pendamping hidup jika memilih seseorang yang seringkali kita merasa tidak nyaman secara emosional ketika bersamanya. Jika kita takut untuk mengungkapkan perasaan, keinginan dan pendapat secara terbuka, itu menunjukan masih belum terjalin hubungan emosional yang sehat. Untuk menguji hal ini, tanyakan pertanyaan-pertanyaan berikut kepada diri sendiri! Apakah saya merasa tenang, damai sejahtera dan bisa santai dengan orang ini? Dapatkah saya sepenuhnya menjadi diri sendiri dan mengekspresikan diri ketika bersama orang ini? Apakah orang ini bisa membuat saya memandang diri saya lebih baik? Tentu sanagt baik jika orang menikah dengan kita adalah orang yang bisa membuat kita merasakan damai sejahtera dibanyak kesempatan, walaupun sarat dengan perbedaan. Aspek lain dari hubungan emosional yang sehat adalah : tidak mencoba untuk mengontrol hidup calon pendamping kita dan sebaliknya. Ada perbedaan besar antara “mengendalikan” dan “memberi saran”. Saran diberi untuk keuntungan atau membangun kehidupan kita, sedangkan kontrol dilakukan untuk keuntungan si pemberi kontrol. “Karena itu nasihatilah seorang akan yang lain dan saling membangunlah kamu seperti yang memang kamu lakukan. (1 Tesalonika 5 : 11)

5.   Kita memilih orang yang salah jika tidak saling berbagi tujuan hidup dan prioritas.
“Jodoh” adalah dua pribadi yang mampu berbagi pemahaman yang sama tentang tujuan hidup, prioritas dan nilai-nilai hidup. Setelah menikah, idealnya kedua pribadi yang bersatu tumbuh bersama didalam mencapai tujuan hidup dan prioritas itu. Karena itu pada masa pacaran sangat baik jika kita mulai menyamakan tujuan dan prioritas dalam hidup, supaya didalam menjalani pernikahan yang sarat dengan perbedaan kita dapat menyesuaikan diri dengan apa yang sudah kita diskusikan atau sepakati.

6.   Kita akan memilih orang yang salah jika ingin menikah sebagai upaya melarikan diri dari masalah pribadi atau ketidakbahagiaan.
Jika kita tidak bahagia dalam menjalani hidup dimasa single/lajang, ada kemungkinan tidak akan bahagia saat menikah. Pernikahan bukan solusi untuk memperbaiki kehidupan pribadi, psikologis atau emosional seseorang, justru bisa memperburuk karena harus menjalani masa penyesuaian yang sarat dengan masalah dan perbedaan, yaitu perbedaan keyakinan, tujuan, nilai-nilai, gaya hidup, dsb. Perbaiki dan berbahagialah selagi kita masih lajang, maka kelak pasangan hidup kit akan berbahagia hidup bersama kita.

7. Kita memilih orang yang salah jika ia sangat bergantung kepada keluarganya.
Ada orang yang secara emosionla sangat bergantung pada ayah/ibu/kakak/adik, tetapi disisi yang lain ia ingin membangun hubungan dengan pasangan hidupnya. Memang kita tidak bisa dipisahkan dari orang tua serta saudara-saudara sedarah, tetapi ketergantungan yang berlebihan kepada mereka akan memberikan akibat yang buruk dalam rumah tangga yang ingin kita bangun. Ketika Yakub menikah dengan Lea dan Rahel, kedua wanita itu melepaskan ketergantungan mereka terhadap keluarganya dan berkomitmen untuk lebih erat kepada suaminya, meskipun mereka hidup dengan orang tuanya. Jika calon pendamping hidup kita tidak mampu bersikap tegas terhadap campur tangan orang tuanya yang diluar batas, maka kelak ia akan mengalami kendala untuk mencintai kita.

MEMUTUSKAN UNTUK MEMILIH PASANGAN HIDUP YANG TEPAT
Karakter adalah dasar dari setiap hubungan yang sehat. Kunci untuk memilih pasangan hidup yang tepat adalah mencari seseorang yang berkarakter baik. Karakter akan menentukan cara seseorang memperlakukan dirinya, pasangannya dan anak-anaknya. Lalu, apa yang  harus kita perhatikan dalam memilih pasangan hidup? Bagaimanakah kita mengetahui bahwa diaa adalah orang yang tepat untuk dinikahi? Perhatikan 6 kriteria di bawah ini!

1.   Komitmen terhadap pertumbuhan pribadinya.
Jika kita mampu menemukan seseorang yang memiliki komitmen terhadap pertumbuhan rohani pribadinya, berarti kita telah meraih setengah dari pernikahan yang bahagia. Komitmen terhadap pertumbuhan rohani artinya, dia berusaha hidup sesuai dengan prinsip-prinsip firman dan melakukannya. Dia juga benar-benar yakin bahwa Alkitab adalah satu-satunya sumber iman baginya. Firman akan membuatnya hidup dalam kasih, mengampuni, bisa menerima kelemahan dan kelebihan pasangannya (1 Yohanes 4 : 7, 12)

2.   Keterbukaan emosional.
Ada banyak pernikahan yang tidak bahagia karena salah satu pasangan memiliki latar belakang menyakitkan yang menyebabkan dia tertutup secara emosional. Jika orang tuanya tidak pernah mengatakan bahwa mereka mengasihinya, kemungkinan ia tidak mampu mengungkapkan bahwa ia mampu mengasihi kita. Jika dia sangat terluka oleh mantan kekasihnya di masa lalu dan belum dipulihkan, akan sangat sulit baginya untuk menunjukan perhatiannya kepada kita. Kita tidak akan menikmati kebahagiaan jika tinggal bersama seseorang yang tidak mampu berbagi perasaan dengan orang yang dikasihinya. Karena itu kita perlu berdoa untuk mendapatkan seseorang yang sudah dipulihkan dan mampu menunjukan kasihnya kepada semua orang.

3.   Berintegritas.
Agar suatu hubungan dapat berjalan baik, kejujuran dan sikap yang dapat dipercaya harus dibangun menjadi fondasinya. Mengetahui bahwa si dia dapat dipercaya memberi rasa aman tersendiri bagi kita. Apabila kita selalu ketakutan, jangan-jangan si dia bohong, itu akan membuat kita menanggung kekhawatiran yang berkepanjangan. Jika kita meragukan integritasnya, maka kita akan kehilangan rasa hormat terhadapnya; kita tidak dapat memercayai perkataan dan tindak tanduknya, dan hal ini adalah masalah! Oleh karena itu, pilihlah pasangan hidup yang berintegritas. Walaupun sulit, tanamkanlah dalam hati bahwa mendapat pasangan hidup yang berintegritas berarti mendapat harta terpendam!

4.   Memiliki citra diri yang sehat.
Apa ciri-ciri orang yang citra dirinya sehat? Ia tahu bahwa dirinya sangat berharga didalam Kristus. Ia akan merawat dirinya dengan baik karena ia mampu mengasihi dirinya.

5.   Bersikap positif dalam hidup.
Orang yang positif menciptakan hubungan yang positif. Orang yang negatif menciptakan hubungan yang negatif. Itu sebabnya menikah dengan orang yang negatif berarti memutuskan untuk hidup dalam kesukaran. “Lebih baik tinggal pada sudut sotoh rumah daripada diam serumah dengan perempuan yang suka bertengkar.” (Amsal 21 : 9)

6.   Ada perasaan tertarik.
Tanpa perasaan tertarik kita tidak akan pernah jatuh cinta. Mungkinkah kita memiliki pernikahan yang bahagia dengan seseorang yang tidak menarik hati kita? Rasanya tidak! Jatuh cinta dengan seorang sahabat akan menjadi pengalaman yang luar biasa dalam hidup seseorang. Survey membuktikan bahwa pasangan yang menjalin persahabatan terlebih dahulu, kemudian meningkat ke hubungan sebagai pasangan akan mengalami pernikahan yang lebih sukses dan memuaskan.

Diatas semuanya itu, berdoalah dengan sungguh hati sebelum kita memutuskan dengan siapa akan menikah. Doa adalah langkah pertama dan terutama yang harus diambil ketika seorang pengikut Kristus ingin memilih pasangan hidupnya. Tentu Tuhan akan memberi hikmat dan tuntutan bagi orang yang mencari wajahNya dengan sungguh-sungguh. Ya, berdoalah supaya dapat memilih pasangan hidup dengan bijaksana!
(1 Yohanes 4 : 7, 12)
 





No comments:

Post a Comment